Selasa, 24 Mei 2011

BAB 3
PERDARAHAN POST PARTUM
BATASAN

Perdarahan post partum adalah perdarahan melebihi 500 ml yang terjadi setelah bayi lahir. Dalam persalinan sukar untuk menentukan jumlah darah secara akurat karena tercampur dengan air ketuban dan serapan pada pakaian atau kain alas. Oleh karena itu bila terdapat perdarahan lebih banyak dari normal, sudah dianjurkan untuk melakukan pengobatan sebagai perdarahan postpartum.
TUJUAN UMUM
Setelah menyelesaikan bab ini, peserta akan mampu mengidentifikasi dan menatalaksana
perdarahan post partum.
TUJUAN KHUSUS
Untuk mencapai tujuan umum, peserta akan memiliki kemampuan untuk:

Mengidentifikasi tanda dan gejala serta mendiagnosis perdarahan post partum

Menatalaksana perdarahan post partum sesuai prosedur baku

Melakukan kompresi bimanual uterus

Melakukan kompresi aorta abdominal

Melakukan pemeriksaan laserasi jalan lahir/ robekan serviks

Melakukan penjahitan robekan serviks

Melakukan penglepasan plasenta secara manual
MASALAH
Perdarahan post partum dini yaitu perdarahan setelah bayi lahir dalam 24 jam pertama
persalinan dan perdarahan post partum lanjut yaitu perdarahan setelah 24 jam persalinan.
Perdarahan post partum dapat disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio
plasenta, sisa plasenta dan kelainan pembekuan darah.
PENGELOLAAN UMUM

Selalu siapkan tindakan gawat darurat

Tata laksana persalinan kala III secara aktif

Minta pertolongan pada petugas lain untuk membantu bila dimungkinkan

Lakukan penilaian cepat keadaan umum ibu meliputi kesadaran nadi, tekanan darah,
pernafasan dan suhu

Jika terdapat syok lakukan segera penanganan

Periksa kandung kemih, bila penuh kosongkan

Cari penyebab perdarahan dan lakukan pemeriksaan untuk menentukan penyebab
perdarahan
Pelatihan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar
3-1
Tabel 2.1 Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
JENIS DAN CARA
OKSITOSIN
ERGOMETRIN
MISOPROSTOL
Dosis
dan
cara
pemberian

IV : 20 IU dalam 1 l larutan garam fisio logis dengan tetesan cepat
IM : 10 IU
IM atau IV (lambat) :
0.2 mg
Oral atau rektal 400 µg
dapat diulang
sampai
1200 µg
Dosis lanjutan

IV : 20 IU dalam 1 l larutan garam fisio- logis dengan 40 tetes / menit
Ulangi 0.2 mg IM
setelah 15 menit
400 µg 2-4 jam setelah
dosis awal
Dosis maksimal per
hari

Tidak lebih dari 3 l larutan dengan Oksi- tosin
Total 1 mg atau 5
dosis
Total 1200 µg atau 3 dosis
Kontra Indikasi
Pemberian IV secara
cepat atau bolus
Preeklampsia, vitium
cordis, hipertensi
Nyeri kontraksi Asma
DIAGNOSIS
GEJALA DAN TANDA
TANDA DAN GEJALA
LAIN
DIAGNOSIS KERJA

Uterus tidak berkontraksi dan lembek Perdarahan segera setelah anak lahir
Syok

Bekukan darah pada serviks atau posis terlentang akan menghambat aliran darah ke luar
Atonia uteri
Darah segar yang mengalir

segera setelah bayi lahir
Uterus kontraksi dan keras
Plasenta lengkap

Pucat
Lemah
Menggigil
Robekan jalan lahir
Plasenta belum lahir setelah
30 menit
Perdarahan segera (P3)
Uterus berkontraksi dan
keras
Tali pusat putus akibat traksi

berlebihan
Inversio uteri akibat tarikan
Perdarahan lanjutan
Retensio plasenta
Plasenta atau sebagian
selaput

(mengandung pembuluh darah) tidak lengkap
Perdarahan segera (P3)
Uterus berkontraksi tetapi
tinggi fundus tidak berkurang
Tertinggalnya sebagian
plasenta atau ketuban
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi masa
Tampak tali pusat (bila
plasenta belum lahir)
Neurogenik syok
Pucat dan limbung
Inversio uteri
3-2
Buku Acuan
GEJALA DAN TANDA
TANDA DAN GEJALA
LAIN
DIAGNOSIS KERJA
Sub-involusi uterus
Nyeri tekan perut bawah
dan pada uterus
Perdarahan
Lokhia mukopurulen dan
berbau
Anemia
Demam

Endometristis atau sisa
fragmen plasenta
(terinfeksi atau tidak)
Late postpartum
hemorrhage
Perdarahan postpartum
sekunder
PENGELOLAAN KHUSUS
ATONIA UTERI

Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus menjadi lunak dan pembuluh darah pada daerah bekas perlekatan plasenta terbuka lebar. Atonia merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum; sekurang-kuranya 2/3 dari semua perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan postpartum disebabkan atonia uteri, harus dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri. Kondisi ini mencakup:
1. Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi normal seperti pada:

Polihidramnion

Kehamilan kembar


Makrosomi
2. Persalinan lama
3. Persalinan terlalu cepat
4. Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
5. Infeksi intrapartum
6. Paritas tinggi

Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang berisiko ini, maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya atoni uteri postpartum. Meskipun demikian, 20% atoni uteri postpartum dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor risiko ini. Adalah penting bagi semua penolong persalinan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan.
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukanpenang anan
kala tiga secara aktif, yaitu:
1. Menyuntikan Oksitosin
-
Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.
-

Menyuntikan Oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah.
2. Peregangan Tali Pusat Terkendali
Pelatihan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar
3-3

Pengelolaan
a. Episiotomi, robekan perineum, dan robekan vulva
Ketiga jenis perlukaan tersebut harus dijahit.
1. Robekan perineum tingkat I
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan dengan memakai catgut yang
dijahitkan secara jelujur atau dengan cara jahitan angka delapan (figure of eight).
2. Robekan perineum tingkat II

Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat I atau tingkat II, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing dijepit dengan klem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.

Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau delujur. Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Sampai kulit perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur.
3. Robekan perineum tingkat III
Pada robekan tingkat III mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit,
kemudian fasia perirektal dan fasial septum rektovaginal dijahit dengancatgut
kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah akibat
robekan dijepit dengan klem / pean lurus, kemudian dijahit dengan 2 – 3 jahitan
catgut kromik sehingga bertemu lagi. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis
seperti menjahit robekan perineum tingkat II.
4. Robekan perineum tingkat IV

Pada robekan perineum tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk melakukan perbaikan cukup tinggi dan resiko terjadinya gangguan berupa gejala sisa dapat menimbulkan keluhan sepanjang kehidupannya, maka dianjurkan apabila memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan rencana tindakan perbaikan di rumah sakit kabupaten/kota.
b. Hematoma vulva
1. Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar hematoma. Pada
hematoma yang kecil, tidak perlu tindakan operatif, cukup dilakukan kompres.

2. Pada hematoma yang besar lebih-lebih disertai dengan anemia dan presyok, perlu segera dilakukan pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan di sepanjang bagian hematoma yang paling terenggang. Seluruh bekuan dikeluarkan sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan, perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber perdarahan tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam perdarahan difus dapat dipasang drain atau dimasukkan kasa steril sampai padat dan meninggalkan ujung kasa tersebut diluar.
c. Robekan dinding vagina
1. Robekan dinding vagina harus dijahit.
2. Kasus kolporeksis dan fistula visikovaginal harus dirujuk ke rumah sakit.
Pelatihan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar
3-9
d. Robekan serviks

Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. Bibir depan dan bibir belakang serviks dijepit dengan klem Fenster (Gambar 2.3). Kemudian serviks ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung robekan untuk menghentikan perdarahan.
A. Jahitan pertama dimulai dari
puncak robekan pada serviks
B. Sebagian robekan serviks setelah
dijahit
Gambar 2.3 Teknik menjahit robekan serviks
RETENSIO PLASENTA

Retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim oleh karena kontraksi rahim kurang kuat untuk melepaskan plasenta disebut plasenta adhesiva. Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim oleh karena villi korialisnya menembus desidua sampai miometrium disebut plasenta akreta. Plasenta yang sudah lepas dari dinding rahim tetapi belum lahir karena terhalang oleh lingkaran konstriksi di bagian bawah rahim disebut
plasenta inkarserata. Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau

seluruhnya telah lepas dari dinding rahim. Banyak atau sedikitnya perdarahan tergantung luasnya bagian plasenta yang telah lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui periksa dalam atau tarikan pada tali pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih dari 30 menit maka kita dapat melakukan plasenta manual.
Prosedur plasenta manual sebagai berikut:


Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam narkosis, karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya terutama bila retensi telah lama. Sebaiknya juga dipasang infus NaCl 0,9% sebelum tindakan dilakukan. Setelah desinfektan tangan dan vulva termasuk daerah seputarnya, labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina.
3-10
Buku Acuan


Sekarang tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis. Tangan kanan dengan posisi obstetrik menuju ke ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta; tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi salah jalan (false route).


Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh pembantu (asisten). Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan tersebut dipindahkan ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan kanan sebelah kelingking (ulner), plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar.


Kesulitan yang mungkin dijumpai pada waktu pelepasan plasenta secara manual ialah adanya lingkaran konstriksi yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan dalam secara perlahan-lahan dan dalam nakrosis yang dalam. Lokasi plasenta pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi di dinding belakang. Ada kalanya plasenta tidak dapat dilepaskan secara manual seperti halnya pada plasenta akreta, dalam hal ini tindakan dihentikan.
Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap, segera dilakukan
kompresi bimanual uterus dan disuntikkan Ergometrin 0.2 mg IM atau IV sampai
kontraksi uterus baik. Pada kasus retensio plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh karena itu
harus segera dilakukan tindakan pencegahan perdarahan postpartum.
Apabila kontraksi rahim tetap buruk, dilanjutkan dengan tindakan sesuai prosedur tindakan
pada atonia uteri.
Plasenta akreta ditangani dengan histerektomi oleh karena itu harus dirujuk ke rumah
sakit.
Gambar 2.4 Pelepasan plasenta secara manual
SISA PLASENTA

Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 6 – 10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan subinvolusi rahim, yaitu perdarahan
Pelatihan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar
3-11
Perdarahan Postpartum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar